Susahnya Jadi Orang Penyakitan


Katanya, sedari masih di kandungan, aku sudah penyakitan. Ibuku sering merasa tersiksa di kehamilan pertamanya. Mulai dari merasakan mual yang tidak berkesudahan, hingga terkena berbagai penyakit—yang mungkin menurutmu hanya mitos—sawan. Bayangkan, di trimester pertama ibuku sawan dengan pepaya, kemudian di trimester ketiga malah menghabiskan pepaya. Setelah lahir, nggak jauh berbeda. Aku terlalu mudah sakit, menyusahkan orang tuaku yang waktu itu nggak punya stable job. Sakit ini, sakit itu. Menyusahkan. Keadaan semakin membaik saat aku tumbuh besar. Aku sudah mulai nggak gampang sakit, bahkan nggak pernah sakit. Situasi yang melegakan, yang menjadi waktu orang tuaku untuk bernapas sebentar, hingga penyakit itu perlahan datang lagi.

Bapakku sinusitis, aku yang latah pun ikut-ikutan. Penyakit ini nggak pernah mengganggu hari-hariku. Aku nggak harus mompa hidung setiap saat dan menurutku itu keberuntungan. Namun, kalau sudah kambuh, rasanya ingin mati. Nggak hanya cuma kesulitan bernapas, tapi telingaku juga akan berdenging dan cairan itu ikut keluar dari telingaku. Sakit. Itu sakit sekali. Biasanya, saat sinusku mulai terasa, penyakit amandel ini juga akan mengikutinya. Sial. Sial. Sial. Rasanya benar-benar sakit. Merasakan cairan kental ingin keluar dari telingaku dan cairan yang lebih cair akan merembes. Menjijikkan. 

Penyakit yang paling sering menggangguku adalah magh yang kemudian menjadi gerd. Penyakit ini adalah penyakit paling nggak jelas. Coba bantu aku berpikir. Aku memiliki toleransi makan pedas yang tinggi. Sangat jarang—bahkan hampir nggak pernah perutku sakit hanya karena makan makanan pedas. Aku memiliki toleransi minum kopi hitam penuh kafein yang tinggi juga. Pola makanku amat teratur. Sangat jarang aku makan sebelum lapar. Namun, penyakit ini hobi sekali datang, padahal aku sedang tidak makan pedas dan minum kopi, serta pola makanku teratur. Aneh. Seaneh itu, sampai penyakit ini terasa benar-benar akan membunuhku waktu itu. Menakutkan. Mati itu menakutkan. Terlebih mati hanya karena asam lambung.

Semakin dewasa, aku semakin berani untuk mengakui bahwa aku sakit. Toleransi rasa sakitku cukup tinggi, terlebih untuk penyakit-penyakit yang membuatku seperti akan menemui ajalku yang telah aku sebutkan sebelumnya. Aku merasa, aku melakukan itu karena takut menyusahkan orang tuaku. Biaya dokter bukannya murah, orang tuaku memang sanggup dan akan memenuhinya, tapi tetap saja menyusahkan. Hal itu, secara n langsung juga aku pelajari dari orang tuaku. Orang tuaku nggak pandai mengeluh, mereka kuat dan selalu merasa kuat. Mereka selalu merasa eman untuk ke dokter dan lebih baik uangnya digunakan untuk mentraktir kami makan bakso dan pangsit langganan. Namun, semakin dewasa aku semakin sadar kalau itu toxic traits dan aku harus memutusnya untuk hidup lebih nyaman.

Aku sudah pernah menuliskan belum, ya, tentang perasaanku saat di semester dua dan tiga perkuliahan? Intinya, kehidupanku saat itu terasa sangat berat. Keinginan untuk mati terus menghujam jantungku setiap saat. Memilukan jika mengingat aku yang mengiyakan pikiranku untuk menyakiti diriku sendiri. Hingga, kemudian aku ingin berhenti dan sembuh. Untuk pertama kalinya, aku berobat di poli jiwa. Awalnya, ke psikolog saja, tetapi karena aku butuh minum obat—aku pindah ke psikiatri. Hampir lima bulan minum obat dan berusaha untuk sembuh. Aku mencari cara untuk memahami dan mengatasi diri sendiri. Setelah trial and error, akhirnya, aku menemukan beberapa cara. Sampai saat ini, aku masih belajar untuk mengatasi rasa depresiku. I hope there are no more episodes.

Setelah usiaku menginjak 21 kemarin, aku menghadiahi diriku untuk pergi ke dokter. Permasalahan mens yang tidak teratur memang sudah ada sejak awal aku mens. Namun, karena enggan menyusahkan (lagi-lagi), aku tidak pernah mempermasalahkannya seolah aku tidak khawatir. Aku tau obgyn mahal. Keputusanku untuk ke obgyn di usia ini, selain berharap untuk lebih memahami diriku adalah karena aku harap adik-adikku nggak termakan stigma tentang tabu kalau belum nikah sudah ke obgyn. Sebelum ke obgyn, aku sudah menyiapkan mentalku untuk menerima apapun hasilnya. Aku bersiap akan kemungkinan terburuk, yaitu kista membesar dan sebagainya. Syukurlah, setelah periksa, aku terkena PCOS. Aku sudah menduganya dan bagiku, itu bukan kemungkinan terburuk karena sebagian orang mempermasalahkan PCOS karena "sulit hamil". Namun, karena aku nggak memiliki pikiran untuk hamil nantinya, jadi ya, bukan masalah besar. Aku lebih mempermasalahkan dan mempertanyakan tentang kemampuanku untuk hidup sehat seperti apa yang harus dilakukan penderita PCOS. 

Hal paling miris untukku saat di diagnosis PCOS adalah "diet". Ya, aku memang merasa berat badanku semakin bertambah dan bukannya aku menyukainya juga. Salah satu alasanku periksa ke psikolog juga karena aku nggak menyukai aku yang gendut. Seperti salah server, tapi nggak. Kalau kamu pernah liat My ID Is Gangnam Beauty, pasti tidak asing dengan duta pick me girl se-dra Korea dan kamu pasti tau apa masalah yang dia punya—kecuali mendapatkan Cha Eun Woo. Ya, mirip, aku juga seperti itu. Itu bukan hanya masalah gizi, tapi masalah mental. Gagasan "diet" yang dikatakan Dokter Vika semakin memancingku untuk memuntahkan makanan yang masuk. Aku ingin meringis saja kalau ingat. Setelah di suruh diet itu, aku memang berusaha untuk mengubah pola hidupku—mulai dari makan dan jadwal olahraga. Namun, semuanya masih menjadi masalah saat aku makan makanan yang di masak Mbahku. Aku masih sering muntah, meskipun sekuat tenaga aku nggak mau memuntahkannya. 

Ya Allah, sulitnya.

Muntqh-muntah setelag makan ini merupakan penyakit lama. Mungkin, sejak SMP. Namun, memang baru di diagnosis baru-baru ini. Makanya, porsi makanku dikit. Itu adalah upayaku untuk nggak muntah dan lebih menghargai makananku. Makan lebih dari porsiku, tubuhku otomatis akan merasa bahwa separuhnya harus di keluarkan. Hal ini menyakitkan juga. Terkesan aku seperti nggak mau menghargai makanan, meskipun aku mau. 

Penyakit-penyakit itu menyiksaku bergantian. Rasanya mereka saling beradu, mana yang bisa membuatku merasakan rasa sakit yang luar biasa. Gagasan tubuh "ideal" yang harus diwujudkan oleh penderita PCOS memancing rasa ingin muntahku, meskipun aku sudah berusaha hidup lebih sehat. Berat yang diharapkan Dokter Vika adalah 58 dan sekarang beratku 58.45. Nilai BMI-ku juga sudah turun, 24.1 (normal). Thanks to bulimia.

Sebagai orang yang penyakitan, aku memang kesusahan. Namun, aku percaya bahwa dipasrahi rasa sakit yang sedemikian rupa itu karena Allah percaya bahwa aku dapat menyanggupinya. Menjadi penyakitan kaya gini pun jadi pembelajaran untukku. Aku jadi bisa lebih memahami diriku sendiri. Pun, pengalaman ini juga berharga untukku. Kalau nggak kena gerd, mungkin aku nggak akan pernah merasakan di infus dan ngamar. Kalau nggak ke obgyn, aku juga pasti nggak akan tau gimana rasanya stick USG nyentuh kulit. Hehe. Terima kasih BPJS sudah mensponsoriku untuk lebih mencintai dan memahami diriku sendiri, walaupun obatnya nggak bisa kamu cover dan aku harus mengeluarkan uang sebanyak itu. 

Komentar