apa gak papa kalo gak jadi apa-apa?



Hari ini, pertama kalinya sejak beberapa waktu aku akhirnya menyetel playlist-ku yang kuberi nama "it's okay to not be okay". Lama sekali rasanya aku tidak menyetel playlist ini dengan perasaan yang seperti ini. Haha. Pertanyaan itu (yang kugunakan sebagai judul tulisan ini) tidak tiba-tiba muncul, tetapi pertanyaan itu menggerogoti pikiranku beberapa hari ke belakang. Melelahkan. Menakutkan. Sakit sekali.

Semester ini, aku mengambil mata kuliah Proposal Skripsi. Setahun lagi adalah masa kelulusanku, bisa lebih cepat jika aku bisa, bisa lebih lambat jika terhambatl. Besok pada jam ketiga adalah pertemuan pertama mata kuliah tersebut. Bersamaan dengan itu, aku semakin memahami bahwa aku banyak tertinggal. Aku banyak membuang waktuku, terlalu menyepelekan segala hal penting. Rasanya menakutkan saat menyadari bahwa aku tidak mengerti apapun. Semakin menyadari banyak hal yang tak aku mengerti, semakin sesak juga dadaku. 

Semester ini dan dua semester selanjutnya adalah penentuan. Namun, posisiku tetap saja sama. Tak beranjak sedikitpun dari posisiku di semester awal.

Aku menyesal. Tentu saja penyesalan datang di akhir. Kemudian, segala hal yang kusesali menciptakan seutas kain kuat yang mencekik leherku. Menyakitkan dan membuatku harus lebih susah payah untuk melangkah serta melepaskan diriku dari cekikan itu. Aku takut untuk melangkah lagi. Aku tidak memiliki senter atau hanya sekedar lentera untuk membantuku melewati jalanan gelap yang tak kuketahui akan sepanjang apa dan ada apa saja di sana. Aku tidak memiliki apapun dan terlalu takut untuk mengambil risiko.

Sebagai anak pertama dan cucu pertama, aku terlalu banyak dijejali harapan-harapan. Kamu harus jadi ini, kamu harus jadi itu, kamu harus bisa ini, kamu harus bisa itu—segalanya terasa mejadi sebuah keharusan untukku. Terlebih, keluargaku bukan siapa-siapa dan cenderung tak memiliki apapun untuk diwariskan. Harapan-harapan yang seolah menjadi keharusan untukku itu kini tumbuh dan telah menjadi daging. Aku merasa memiliki tanggung jawab yang besar. Tanggung jawab untuk mencapai keberhasilan. Namun, rasanya keberhasilan itu semakin sulit di gapai. Tanganku tidak panjang, begitu pula kakiku. Semuanya terletak di rak paling tinggi dan aku tidak bisa menggapainya.

Lalu, apa tak apa kalau tak jadi apa-apa?

Aku mendengar banyak orang mengatakan bahwa, "gak papa kok kalau gak jadi apa-apa". Saking seringnya, aku yang kebingungan pun turut mengiyakan. Mana mungkin semua orang bisa menjadi seseorang kan? Begitu juga aku. Aku juga banyak mendengar teman-temanku yang mengatakan bahwa mereka ingin kembali ke kampung dan bekerja di sana. Tidak berhubungan dengan apapun yang sedang mereka pelajari. Aku memahaminya. Kemudian, belakangan ini aku juga sering menemukan tweet dengan topik yang sama. "Gak papa gak jadi girlboos, masih ada girlemployee..." dan "Gak papa gak jadi apa-apa, kamu bisa menikmati hidupmu yang slow living itu." Lagi-lagi, aku mengiyakan.

Mereka benar. Tapi benarkah tak apa?

Aku memang mengiyakan dan memahaminya, tetapi pernyataan atau keputusan-keputusan itu nampaknya tak pernah kubenarkan. Pikiran seperti itu tak pernah muncul di otakku. Otakku masih berisi ketakutan-ketakutan atas kegagalan—yang mungkin bagi orang lain bukanlah kegagalan. Aku tidak mengerti bagaimana jalan pikirku hingga sore tadi saat aku melihat debat calon presiden yang terakhir bersama ibu.

Pada awalan closing statement salah satu calon, ia mengatakan, "...Orang tua yang di malam hari melihat anaknya tidur dalam kondisi miskin, dia melihat sambil membayangkan, "Akankah anak saya tetap miskin seperti ini kelak? Bisakah mereka memiliki kehidupan yang lebih baik kelak?"". Hatiku terenyuh. Mungkin, itulah sebab mengapa kalimat sejenis "tak apa kalau tak jadi apa-apa" tak pernah bisa menenangkanku. 

Harapan-harapan yang mereka sematkan padaku bukan sekedar harapan yang bisa memenuhi mereka, tetapi memenuhiku yang kemudian berbuah kesenangan untuk mereka. Harapan itu ditujukan untukku, untuk kepentinganku. Namun, aku tau, saat aku tidak menjadi apa-apa pun mereka akan tetap memelukku. Mereka menyanyangiku. Sayangnya, akankah aku mampu meluk diriku yang tidak jadi apa-apa itu?

Dunia ini rumit. Rumit sekali. Menyeakkan.


Komentar